MEDIA CENTER, Palangka Raya-Seorang pria usia muda, tampak mengendap-ngendap dengan muka serius pada sebuah kolam yang terlihat keruh dan penuh lumpur.
Tampak ia seolah memilah-milah mencari dan meraba sesuatu. Sesekali raut wajahnya menyeringai seolah kaget seperti pucat pasi bercampur geli.
Bola matanya sedikit melotot karena terkejut.
Ya, ada sesuatu yang dicarinya di kolam yang berukuran tidak kurang dari 4×5 meter. Dikolam yang selayaknya seperti kubangan tersebut pria muda itu tidak sendiri, ada beberapa orang seusia dia lagi yang bertingkah polah sama. Terlihat lucu melihat raut serta mimik wajah mereka.
Te ije le, tekap-tekap, geleng ndai ayuu. Terdengar suara teriakan dari kerumunan orang yang terlihat berjubel mengelilingi kolam berlumpur tersebut. Teriakan itu merupakan bahasa Dayak yang jika diterjemahkan artinya, Itu satu itu satu, tangkap-tangkap, cepat ayo .
Pemandangan ini adalah sisi dari kegiatan Lomba Mangaruhi, yakni sebuah lomba tradisional khas Dayak, yang diperlombakan pada even akbar Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) beberapa waktu lau di area lokasi Taman Budaya Kalteng.
Mangaruhi bagi Suku Dayak adalah sebuah tradisi budaya, yang memang secara turun temurun selalu dilakukan,p manakala dilingkungan masyarakat ada kegiatan tradisi budaya atau ritual maupun kegiatan masyarakat dalam beragam kegiatan seni dan budaya.
Mangaruhi itu sendiri diidentikan dengan teknik mencari atau menangkap ikan dengan hanya menggunakan tangan kosong, dimana harus dilakukan pada sebuah kolam yang berlumpur. Bagi mereka yang mangaruhi harus mengaduk-aduk (mangaruhi ) lumpur kolam tersebut, dengan harapan ikan-ikan yang ada di dasarnya menjadi mabuk akibat terkena keruh atau hempasan lumpur air kolam. Dengan begitu ikan muncul dan mudah untuk ditangkap dengan tangan.
Biasanya ketika kegiatan mangaruhi ini dilakukan, pihak pelaksana dengan memasukkan terlebih dahulu puluhan ekor jenis ikan yang akan ditangkap pada saat mangaruhi digelar. Biasanya, ikan gabus (haruan) atau ikan lele lebih mendominasi pada acara mangaruhi ini.
Sedangkan pada saat lomba, seperti halnya pada even FBIM, maka jenis ikan telah ditentukan, termasuk durasi lamanya waktu saat lomba, yakni dengan durasi selama 30 menit.
Dalam lomba mangaruhi ini biasanya dilakukan per kelompok atau perwakilan, dimana dalam satu kelompok, terdiri tiga sampai empat orang. Sementara oada saat berlangsungnya lomba, maka ikan yang berhasil ditangkap harus dimasukan dalam keranjang atau kentong yang disiapkan untuk mempermudah menghitung jumlah yang di dapat. Kelompok yang paling banyak mendapatkan ikan saat mangaruhi, maka kelompok itulah pemenangnya.
“Mangaruhi ini warisan serta tradisi suku Dayak, ungkap Timoteus, salah satu pemerhati sosial dan seni budaya di Kalteng.
Dulunya kata dia, mangaruhi ini kerap dilakukan pada sistem lingkungan masyarakat adat, terutama ketika ada salah satu keluarga membuat pesta atau syukuran, maka permainan tradisional ini kerap dilakukan.
“Bersyukur tradisi mangaruhi ini masih bias dilestarikan, terutama pada kegiatan FBIM. Kita berharap pada even kebudayaan, tradisi mangarubhi ini bias terus ditampilkan,”katanya.
Mangaruhi itu sendiri bagi orang Dayak, kata Timoteus, adalah sebagai bentuk gambaran dari jati diri orang Dayak, yang teguh dan kuat dalam menjalankan setiap fase kehidupan.
Guntur Telajan, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah juga mengatakan hal yang sama, bahwa tradisi mangaruhi ini sudah turun temurun dilakukan masyarakat suku Dayak, hingga sampai saat ini.
“Dulunya mangaruhi biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Namun laki-laki, bahkan anak-anak juga bias melakukan,”tuturnya, seraya mengatakan, jika mangaruhi merupakan salah satu kearifan lokal dari sekian banyak kearifan lokal di Kalteng.
“FBIM ini salah satu cara kita untuk melestarikan serta mempertahankan kebudayaan dan kearifan lokal itu, termasuk mangaruhi ini,”cetus Guntur. (Penulis Ferry Santoso MC Palangka Raya)